Di Indonesia, agama bukan hanya soal keyakinan pribadi, tapi juga bagian dari identitas resmi yang tercantum di KTP. Namun kenyataannya, cara orang menjalani agamanya bisa sangat berbeda; ada yang taat beribadah, ada juga yang hanya sekadar formalitas. Dalam dunia psikoterapi, keberagaman ini menjadi menarik. Agama dan spiritualitas bisa menjadi sumber ketenangan, harapan, dan makna hidup, tapi di sisi lain juga bisa menimbulkan pertanyaan atau konflik batin.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa agama dan spiritualitas justru bisa menjadi bagian penting dalam proses terapi. Dengan cara yang tepat, nilai-nilai religius dan pengalaman spiritual dapat membantu seseorang menghadapi stres, menemukan arah hidup, bahkan memperkuat hubungan dengan diri sendiri maupun orang lain.
Agama dan Spiritualitas dalam Ruang Terapi
Dalam sejarahnya, psikologi sebagai bidang ilmu memang cenderung menjaga jarak dengan isu-isu agama dan spiritualitas. Banyak terapis yang lebih fokus pada pendekatan rasional dan ilmiah, sehingga menganggap agama terlalu subjektif atau bahkan tabu untuk dibahas di ruang terapi. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa pandangan ini mulai bergeser (Abrams, 2023).
Agama dan spiritualitas ternyata bisa menjadi sumber daya penting bagi klien dalam menghadapi tantangan hidup, termasuk pengalaman traumatis. Keyakinan religius dapat memberi rasa harapan, makna, serta dukungan emosional yang memperkuat proses penyembuhan. Sebaliknya, pergulatan spiritual juga bisa menimbulkan kebingungan atau konflik batin yang justru perlu diproses bersama seorang profesional.
Meski begitu, ada tantangan yang harus diwaspadai: bias dari terapis. Seorang terapis yang sangat religius mungkin melihat klien ateis sebagai seseorang yang “kosong” atau “kesepian”, sedangkan terapis sekuler bisa menganggap klien religius sebagai seseorang yang “naif” atau “anti-intelektual”. Bahkan ketika terapis dan klien menganut agama yang sama, bisa saja muncul penilaian tentang cara beribadah yang “benar” atau “salah”.
Maka, kuncinya adalah keterbukaan dan refleksi. Terapis yang peka dapat membantu klien membicarakan pengalaman religius atau spiritual mereka tanpa menghakimi, serta mendampingi mereka menjadikan pergulatan ini sebagai titik tolak pertumbuhan pribadi.
Tema Religius dalam Hubungan Terapi
Topik agama ternyata cukup sering muncul dalam proses terapi, meskipun tidak selalu disadari sejak awal (Abernethy & Lancia, 2024). Misalnya, ketika seseorang sedang menghadapi konflik batin atau masa sulit, tema-tema religius bisa ikut “muncul ke permukaan”. Ada beberapa bentuk yang biasanya terlihat:
- 
Situasi penuh konflik atau regresi: Ketika seseorang kembali pada pola pikir masa lalu atau masa kecil, agama bisa hadir sebagai “pegangan lama” yang kembali dicari. 
- 
Mekanisme pertahanan: Terkadang, ajaran agama digunakan untuk “melindungi diri”, misalnya dengan menolak emosi tertentu karena dianggap “dosa”. 
- 
Perasaan transferensial: Klien bisa tanpa sadar memandang terapis seperti sosok religius, misalnya “seperti pendeta/ustaz” yang memberi arahan moral, meski sebenarnya bukan itu perannya. 
Di sisi lain, countertransference bisa muncul dari pihak terapis. Artinya, terapis membawa perasaan atau penilaian pribadinya terhadap agama klien, entah itu berbeda keyakinan maupun justru sama. Bahkan dalam agama yang sama, bisa saja timbul perbedaan pandangan soal cara beribadah atau menjalani nilai-nilai.
Agar terapi tetap efektif, kuncinya di terapis ada pada beberapa hal: Keterbukaan untuk membicarakan, kepekaan dalam mendengarkan, serta tidak ragu untuk mencari masukan atau supervisi jika dibutuhkan. Dengan begitu, tema agama tidak menjadi penghalang, melainkan justru bagian dari proses penyembuhan.
Psikologi Agama di Indonesia
Di Indonesia, agama bukan hanya urusan pribadi, tetapi juga bagian dari identitas resmi setiap warga negara. Hal ini membuat peran agama dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam kesehatan mental, tidak bisa diabaikan. Psikologi agama adalah bidang yang mempelajari pengaruh agama terhadap sikap, perilaku, dan mekanisme psikologis dalam diri seseorang (Rozalina, 2021). Cara berpikir, bersikap, hingga bereaksi terhadap suatu situasi sering kali dipengaruhi oleh keyakinan yang dianut, karena keyakinan tersebut menjadi bagian dari konstruksi kepribadian.
Ruang lingkup psikologi agama mencakup perubahan emosional dan kepercayaan serta pengaruhnya terhadap kehidupan seseorang. Misalnya, perasaan tentram dan lega ketika berdoa, atau keyakinan akan adanya kehidupan setelah kematian yang memberi makna khusus dalam menghadapi penderitaan. Selain itu, konsep tentang surga, neraka, pahala, dan dosa juga berpengaruh besar dalam membentuk sikap serta keputusan hidup seseorang.
Dalam praktik psikoterapi, pemahaman tentang psikologi agama membantu menjelaskan bagaimana ayat-ayat suci atau praktik ibadah bisa memberikan rasa tenang, motivasi, dan harapan bagi individu. Artinya, agama bukan hanya sistem kepercayaan, melainkan juga sumber daya psikologis yang dapat mendukung proses pemulihan mental.
Kesimpulan
Pada akhirnya, agama dan spiritualitas dapat menjadi sumber daya yang berharga dalam proses psikoterapi. Di Indonesia, di mana agama melekat erat pada identitas dan kehidupan masyarakat, memadukan aspek psikologi dan keyakinan menjadi semakin relevan. Agama dapat memberi makna, harapan, dan ketenangan batin, sementara psikoterapi menyediakan ruang aman untuk mengeksplorasi pengalaman pribadi secara ilmiah dan terarah. Dengan memahami bagaimana keduanya saling melengkapi, individu dapat menemukan keseimbangan antara kesehatan mental dan keyakinan spiritual, sehingga perjalanan penyembuhan tidak hanya menyentuh pikiran dan emosi, tetapi juga hati dan jiwa.
Untuk dapat mengenali potensimu dengan baik, kalian dapat menemukan layanan asesmen psikologi terbaik hanya di biro psikologi resmi Assessment Indonesia, mitra terpercaya untuk kebutuhan psikotes.
References
Abernethy, A. D., & Lancia, J. J. (2024). Religion and the psychotherapeutic relationship: Transferential and countertransferential dimensions. The Journal of Psychotherapy Practice and Research, 7(4), 281. https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3330516/
Abrams, Z. (2023, November 1). Can religion and spirituality have a place in therapy? Experts say yes. American Psychological Association. https://www.apa.org/monitor/2023/11/incorporating-religion-spirituality-therapy
Rozalina, E. (2021). Psikologi agama: Buku referensi. https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/68464/1/11_Buku%20Psikologi%20Agama.pdf
 
             
                             
                             
                             
     
     
     
     
    