Memuat...
02 October 2025 11:34

Terapis Profesional vs Chatbot AI Menjelajahi kelebihan dan keterbatasan AI dalam mendampingi kesehatan mental dibandingkan dengan terapis profesional

Bagikan artikel

Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak orang yang mulai mengandalkan kecerdasan buatan (AI) untuk membicarakan perasaan mereka, mencari dukungan emosional, ataupun untuk “berkonsultasi” mengenai masalah pribadi. Chatbot berbasis AI kini tersedia 24 jam setiap hari, mudah diakses, dan sering dianggap sebagai alternatif cepat bagi layanan kesehatan mental. Fenomena ini tentu menarik perhatian, karena menandai perubahan besar dalam cara masyarakat memahami dan mencari pertolongan psikologis. Namun, pertanyaannya adalah: apakah AI benar-benar dapat menggantikan peran seorang terapis profesional?

Perbandingan Respons Terapis Manusia dan Chatbot AI

Sebuah studi baru oleh Scholich et al. (2025) membandingkan komunikasi terapeutik antara terapis manusia dengan chatbot berbasis large language model (LLM). Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun chatbot AI umum mampu menampilkan elemen-elemen dasar terapi (seperti validasi dan pemberian rasa tenang), respons mereka cenderung berlebihan dalam memberikan saran langsung tanpa cukup menggali pengalaman klien. Mereka juga cenderung menggunakan intervensi generik yang kurang sesuai dengan konteks personal.

Sebaliknya, terapis manusia lebih sering mendorong elaborasi dari klien dan menggunakan self-disclosure (yaitu tindakan sukarela untuk membagikan informasi pribadi tentang diri sendiri) untuk membangun hubungan yang lebih autentik. Sementara itu, chatbot lebih banyak menggunakan bahasa afirmatif, menenangkan, serta menambahkan psikoedukasi dan rekomendasi praktis. Perbedaan ini menyoroti bahwa, meskipun chatbot dapat meniru aspek tertentu dari komunikasi terapeutik, kedalaman dan sensitivitas relasional yang dimiliki terapis manusia masih lebih ideal.

Penelitian lain oleh Acevedo et al. (2025) membandingkan efektivitas transkrip terapi berbasis teks antara ChatGPT-3.5 dan terapis manusia, dengan skenario klinis yang identik. Hasilnya, terapis manusia mendapat penilaian lebih tinggi dalam beberapa aspek kunci. Sebanyak 52% responden menilai agenda setting (yaitu penentuan masalah atau isu yang akan dibahas dalam sesi terapi) oleh terapis manusia sebagai yang terbaik, dibandingkan hanya 28% pada ChatGPT-3.5. Dalam umpan balik kualitatif, 29% menilai terapis manusia sangat efektif, sedangkan ChatGPT-3.5 hanya 9%. Terapis manusia juga lebih baik dalam guided discovery (yaitu memberikan contoh-contoh topik spesifik untuk menumbuhkan pemahaman; 24% vs. 12%).

Meskipun demikian, ChatGPT-3.5 sempat dinilai setara dalam memahami realitas internal pasien (36% vs. 19%), tetapi responnya sering dipersepsikan kaku dan kurang personal. Kesimpulannya, ChatGPT-3.5 dapat berfungsi sebagai pelengkap terapi, namun belum memiliki kedalaman untuk berdiri sendiri sebagai pengganti terapis manusia.

Kelebihan dan Kekurangan AI sebagai Terapis

Meskipun AI belum dapat menggantikan peran terapis profesional, penelitian Tan et al. (2025) menunjukkan bahwa chatbot berbasis AI memiliki potensi untuk digunakan sebagai alat pendukung dalam psychological first aid (PFA; Pertolongan Pertama Psikologis), terutama dalam situasi bencana. Studi tersebut menyoroti bahwa AI dapat membantu dalam lima tema utama: look, listen, link, professionalism, mental health, dan psychosocial support. Dengan ketersediaan setiap saat, respon cepat, serta kemampuan memberikan validasi dan informasi dasar, AI bisa menjadi penolong pertama yang memberi rasa tenang sebelum bantuan profesional tiba. Hal ini menempatkan AI bukan sebagai pengganti, tetapi sebagai pelengkap dalam memperluas akses ke dukungan awal kesehatan mental, khususnya di kondisi darurat.

Di sisi lain, keterbatasan AI sebagai “terapis” juga cukup serius. Moore et al. (2025) menemukan bahwa LLM (large language models) sering kali memberikan respons yang tidak pantas, bahkan berbahaya, kepada individu dengan delusi, ide bunuh diri, halusinasi, atau OCD (Obsessive-Compulsive Disorder; Gangguan Obsesif Kompulsif). AI juga cenderung bersikap sycophantic, yaitu mendorong atau memperkuat pikiran klien yang keliru dibandingkan menantangnya secara terapeutik. Selain itu, AI tidak memiliki kapasitas untuk menjalankan metode inti terapi, seperti causal understanding untuk mengubah pola pikir klien, manajemen waktu dalam sesi, atau manajemen kasus untuk memantau perkembangan klien. Kemudian, ada isu privasi yang signifikan. Data klien yang dibagikan ke chatbot komersial tidak dijamin kerahasiaannya dan berisiko disalahgunakan. Tanpa regulasi kesehatan yang jelas, penggunaan AI sebagai pengganti terapis berpotensi membahayakan keamanan dan keselamatan klien.

Kegunaan AI dalam Dunia Kesehatan Mental Saat Ini

Tren penggunaan AI dalam kesehatan mental menunjukkan potensi besar, mulai dari deteksi dini gangguan, penyusunan rencana terapi yang lebih personal, hingga hadirnya virtual therapist berbasis teknologi. Namun, seiring dengan peluang tersebut, muncul pula tantangan etis terkait privasi, bias, serta bagaimana menjaga sentuhan manusiawi dalam terapi (Olawade et al., 2024). Dalam konteks ini, AI sebaiknya diposisikan sebagai alat pendukung yang melengkapi, bukan menggantikan, peran terapis profesional. Pengalaman, empati, dan kemampuan manusia dalam memahami konteks sosial serta emosional klien tetap tidak tergantikan. Oleh karena itu, masa depan kesehatan mental yang ideal adalah dengan berkolaborasi: memanfaatkan teknologi AI untuk memperluas akses dan efektivitas layanan, sekaligus memastikan kualitas, keamanan, dan kedalaman terapi melalui profesional kesehatan mental yang berlisensi.

Untuk dapat mengenali potensimu dengan baik, kalian dapat menemukan layanan asesmen psikologi terbaik hanya di biro psikologi resmi Assessment Indonesia, mitra terpercaya untuk kebutuhan psikotes.

References

Acevedo, S., Aneja, E., Opler, D. J., Valera, P., & Jarmon, E. (2025). Evaluating the efficacy of chatgpt-3.5 versus human-delivered text-based cognitive-behavioral therapy: A comparative pilot study. American Journal of Psychotherapy. https://doi.org/10.1176/appi.psychotherapy.20240070

Moore, J., Grabb, D., Agnew, W., Klyman, K., Chancellor, S., Ong, D. C., & Haber, N. (2025). Expressing stigma and inappropriate responses prevents LLMs from safely replacing mental health providers. ArXiv.org. https://doi.org/10.1145/3715275.3732039

Olawade, D. B., Wada, O. Z., Odetayo, A., David-Olawade, A. C., Asaolu, F., & Eberhardt, J. (2024). Enhancing mental health with artificial intelligence: Current trends and future prospects. Journal of Medicine, Surgery, and Public Health, 3(3). https://doi.org/10.1016/j.glmedi.2024.100099

Scholich, T., Barr, M., Stirman, S. W., & Raj, S. (2025). A comparison of responses from human therapists and large language model–based chatbots to assess therapeutic communication: Mixed methods study. JMIR Mental Health, 12, e69709–e69709. https://doi.org/10.2196/69709

Tan, J. T., Gan, R. K., Alsua, C., Peterson, M., Sales, R. Ú., Gan, A. Z., Cernuda, A., & González, P. A. (2025). Psychological first aid by AI: Proof‐of‐Concept and comparative performance of chatgpt‐4 and gemini in different disaster scenarios. Journal of Clinical Psychology. https://doi.org/10.1002/jclp.23808

Bagikan